Tarawangsa Budaya Tradisional Jawa Barat

muzweek.net – Tarawangsa ialah tipe kesenian warga agraris tradisionil di Jawa Barat.

Dalam pertunjukannya, kesenian ini mempunyai kekhasan dalam soal instrument musiknya, yakni memakai sebuah alat musik dimainkan dengan digesek. Dalam tulisan Tegar Permana mencuplik opini Luki Hendrawan, secara etimologi,Tarawangsa berasal dari 3 kombinasi kata yaitu Ta – Ra – Wangsa. Ta sebagai akronim dari kata ‘Meta’ datang dari bahasa Sunda yang memiliki arti gerakan, lalu ‘Ra’ memiliki arti api yang agung sama dengan makna Ra dengan bahasa Mesir analogi api yang agung ialah matahari.

Dan yang paling akhir ‘Wangsa’ persamaan kata dari kata Bangsa, manusia yang tempati satu daerah dengan ketentuan yang mengikatnya . Maka Ta-Ra-Wangsa memiliki arti ‘kisah kehidupan bangsa matahari’. Dalam kata lain, Tarawangsa sebagai kesenian penyambutan untuk hasil panen padi tumbuhan yang paling tergantung pada matahari sebagai lambang rasa sukur pada Tuhan YME. Tarawangsa sebagai ensemble kordofon (alat musik dawai yang sumber bunyinya berbentuk ruangan resonator) dua alat musik. Yang satu diberi nama tarawangsa tersebut, dimainkan dengan digesek dan yang satunya diberi nama jentreng dimainkan dengan diambil.

Wujud Alat Musik Tarawangsa

Wujud Alat Musik Tarawangsa

Wujud Alat Musik Tarawangsa – ini benar-benar berlainan dengan alat musik gesek yang lain, seperti rebab. Resonator tarawangsa dibuat dari kayu berleher panjang dalam jumlah dawai di antara 2 sampai 3 utas. Tarawangsa Pangguyangan ini tidak berbeda jauh dengan tarawangsa Sumedang, tetapi dari sisi panjangnya leher, dan pola ukir-pahatan yang menghias sisi kepala terang sekali berlainan. Jumlah kawat yang dipakai tarawangsa Pangguyangan sejumlah dua, tapi sesudah diselidik lebih dekat rupanya tarawangsa Pangguyangan pada periode lalu memakai tiga kawat, dan itu tetap kelihatan dari lubang untuk pureut (pemutar kawat) nya.

Kata tarawangsa dimuat dalam kitab-kitab kuno era kesepuluh yang diketemukan di Bali. Kata tarawangsa bisa diketemukan dalam literatur itu dalam kata lain “trewasa” dan “trewangsah”. Bahkan juga pada periode itu kesenian ini telah hidup pada warga Sunda, Jawa dan Bali. Tetapi bersamaan perubahan zaman, sekarang sisa atau artefak dari alat musik ini tidak ditemukan kembali, Bahkan juga penduduknya juga tidak kembali mengenali alat musik itu. (Didi Wiardi: 2008 dalam Ahmad, 19 Februari 2009), khususnya di daerah Jawa atau Bali.

Dalam pada itu, sumber lain mengatakan jika kata tarawangsa diketemukan dari kitab kuno Sewaka Darma yang mengatakan jika tarawangsa ialah alat musik. Tarawangsa sebagai perubahan dari alat musik rebab. Rebab ada di tanah Jawa sesudah jaman Islam sekitaran era ke-15—16, sebagai penyesuaian dari alat gesek bangsa Arab yang diusung oleh beberapa penebar Islam dari tanah Arab dan India. Sesudah munculnya rebab, tarawangsa biasa juga dinamai rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa biasanya semakin tinggi dibanding rebab (Kurnia, 2003).
Dilhat dari sisi perannya, seni Tarawangsa selalu ditampilkan dalam transisi penanaman padi, yang dalam warga agraris tradisionil selalu disamakan dengan figur Nyai Sri Pohaci/Nyi Pohaci Sanghyang Dangdayang Asri, Dewi Asri (Dewi Sri) sebagai dewi padinya warga Sunda.

Berdasar riset yang sudah dilakukan oleh Didi Wiardi (alm.) dan Asep Saipul Ahmad pada 2008, kesenian Tarawangsa rupanya diketemukan juga di wilayah Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya. Dan satu di Kabupaten Lebak Propinsi Banten persisnya pada warga Baduy. Walaupun tiap tempat berlainan secara tekstual (Ahmad, 19 Februari 2009). Khusus untuk di Kabupaten Bandung, kesenian Tarawangsa persisnya ada di wilayah Soreang bernama Tarawangsa Pangguyangan Soreang. Ini dijumpai berdasar pakar tarawangsa yang masih ada di wilayah itu yakni, Accu Oyo sebagai penggesek tarawangsa dan Emid (45 tahun) sebagai pemetik kacapi yang disebut anak kandungnya (Ahmad, 19 Februari 2009).

Atraksi tarawangsa setiap daerah mempunyai ketidaksamaan wujud dan susunan. Atraksi tarawangsa di daerah Rancakalong, pertunjukannya tidak diperlengkapi oleh vocal, cuman dua instrument saja, yakni jentreng dan tarawangsa, dan seni tarawangsa di daerah Cibalong Tasikmalaya, dipengkapi dengan instrument yang lain, seperti calung rantay,